Monday, October 30, 2006

Inspiratorku: Rumah Kiri

Sudah tiga blog yang aku buat, dan ketiganya aku delete. Bosan, dan... untuk apa sebenarnya aku menulis di blog, karena buku catatan harianku toh sudah cukup untuk menampung banyak hal yang ada di kepala, buah penglihatan, dan hasil pendengaranku... Apakah aku harus bilang sialan (?) atau justru bersyukur (?) ketika aku memutuskan membuat blog lagi? Soalnya... ide untuk itu datang setelah aku berkunjung ke sebuah situs yang selama ini aku bayangkan ada. Nama situsnya: "rumah kiri". Unik dan... ideologis (?) Lewat Google aku sampai ke situs itu. Aku segera jatuh cinta ketika warna situsnya didominasi putih dan merah. Semakin jatuh cinta lagi ketika aku membaca beberapa tulisan kritisnya. Mudah-mudahan tidak salah, aku menangkap kalau pengelola rumah kiri berusaha mengambil sikap obyektif untuk menampung banyak pendapat tentang Marx. Hal itulah yang aku suka kemudian dari situs ini. Gak monolitik! Aku yakin pengelolanya punya pertimbangan matang mengapa menerapkan konsep inklusif seperti itu.

Karena "terlanjur" jatuh cinta pada rumah kiri, aku tertantang untuk menuliskan banyak catatan harianku: renungan, pengalaman pancaindra, kegelisahan, dan kekecewaanku pada kekeliruan banyak hal... Terima kasih rumah kiri: engkau adalah inspiratorku di saat waktu dan kenyataan nyaris menyeretku pada arus utama yang kutahu itu keliru.

2 comments:

Rudi Hartono said...

salam Kenal

gua pengen kenal lo lebih jauh. jarang2 orang yang mau menyadari keterbelakangan pengetahuannya seperti loh. mayoritas kawan2 kita di Universitas masih sangat bangga dengan pengetahuan formalis, dan teori-teori usang di Universitas. Karena ketakutan yang terlalu amat besar dengan ideologi kiria, rejim orde baru memberangus marxisme termasuk dalam lingkungan akademis. ada tokoh yang pernah bilang" lingkungan akademis (kalau) menyingkirkan pengetahuan yang lain(maksudnya Marxisme) berarti lingkungan akademis itu telah membunuh dirinya sendiri, dan menjadi penyembah berhala politik kekuasaan.

Materialisme dialektis, sebagai salah satu pemikiran filsafat (yang punya jasa dalam pencerahan) justru disingkirkan dalam lingkungan akademis di Indonesia. yang berkuasa adalah TETAP logaika formal yang bersandar kepada kepala batu dan idealisme puritan.

mana mungkin kita menjadi bangsa yang besar, kalau sejak awal pangkal berpikirnya SALAH.

Rudi Hartono said...

Salam kenal yah,
ngomong-ngomong soal inspirasi, lo udah benar ketika kamu mau belajar Marxisme. sangat sayang, karena ketakutan ideologis yang sangat besar sehingga orde barua mematikan ideologi ini termasuk percikannya; Marxisme akademik. dalam pelajaran filsaafat di sekolah-sekolah,bahkan dikampus-kampus sangat jarang membahas materialisme dialektis. padahal selaain logika formalis yang dominan sekarang, cara berpikir materialis dialektis adalah pemikiran filsafat terbesar sepanjang sejarah, dan meruntuhkan tatanan feodal perancis. Katanya kita mau jadi bangsa yang besar, bangsa yang sejajar dengan bangsa yang sudah maju. TAPI kalau tampa landasan logika berpikir yang ilmiah; materialisme dialektis, kita tidak akan mencapai itu. Lenin pernah bilang bahwa sebelum berkuasa (partai revolusioner memenangkan revolusi) maka ia harus mampu memerintah dalam kesadarannya.

terimaha kasih
lam kenal Aja

Kusno
arahkiri2009@yahoo.com